Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Civil servant dan Civilization: antara Fungsi Mikro Birokrasi dan Horison Makro

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Skema pensiun PNS
Iklan

Istilah civil servant dan civilization sering dipahami dalam ranah yang berbeda: yang pertama merujuk pada jabatan birokratis dalam struktur

 

Ahmad Wansa Al-faiz


 Pelajaran.Co.Id Pengertian Masyarakat Madani, Unsur, Ciri dan Pilar Penegak Masyarakat Madani Lengkap

Istilah civil servant dan civilization sering dipahami dalam ranah yang berbeda: yang pertama merujuk pada jabatan birokratis dalam struktur negara, sementara yang kedua menunjuk pada suatu horizon luas berupa kebudayaan dan tatanan nilai. Namun, keduanya memiliki titik temu penting: sama-sama berhubungan dengan kehidupan publik, meskipun dari sudut pandang berbeda.

Artikel ini akan mengkaji hubungan dialektis antara keduanya, sekaligus mengusulkan penerjemahan civil servant bukan hanya sebagai aparatur negara, melainkan sebagai pelayan masyarakat dalam konteks bahasa Indonesia, sehingga lebih dekat pada makna etikanya.

1. Civil Servant: Fungsi Sosial dalam Raung Mikro

Secara umum, civil servant dipahami sebagai pegawai negeri yang bekerja di bawah otoritas negara untuk menjalankan fungsi administrasi, pelayanan, dan implementasi kebijakan publik.¹ Dalam kerangka ini, mereka bekerja berdasarkan hirarki, prosedur, dan legalitas hukum yang berlaku.

Namun, penyederhanaan istilah ini ke dalam bahasa Indonesia kerap mengalami reduksi. Civil servantlebih sering disebut sebagai aparatur sipil negara (ASN), yang secara semantik menekankan sifat alat atau instrumen negara. Padahal, secara harfiah, civil servant berarti pelayan sipil/masyarakat, yang lebih menekankan pada orientasi pelayanan kepada publik ketimbang sekadar fungsi administratif.²

Perbedaan ini tidak kecil. Sebagai aparatur, seorang pegawai negeri ditempatkan dalam logika instrumen kekuasaan. Sebagai pelayan masyarakat, ia diposisikan dalam horison etika, yakni menjalankan kerja bukan hanya karena aturan, tetapi demi kesejahteraan kolektif.

2. Civilization: Horison Makro dari Adab dan Nilai

Sementara itu, civilization berasal dari akar kata Latin, yakni civitas yanag artinya kota atau masyarakat sipil. Dalam bahasa Arab-Islam dapat disejajarkan dengan kata  adab. Adab tidak hanya berarti sopan santun, melainkan tatanan perilaku yang sesuai dengan nilai kebenaran dan kebaikan.

Civilization dengan demikian menunjuk pada totalitas sistem sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan etika yang menopang keberlanjutan suatu masyarakat. Dengan perspektif ilmu sosial, civilization adalah medan makro : ia menyangkut relasi kuasa, nilai moral, sistem ekonomi, hingga horizon spiritual yang membentuk perilaku kolektif. Peradaban yang kokoh tidak lahir hanya dari prosedur administratif, tetapi dari penghayatan nilai-nilai adab yang dijalankan dalam skala luas.

3. Dialektika

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Civil servant dan civilization pada dasarnya berada dalam hubungan dialektis

Civil servant adalah -aktor mikro-prosedural , memastikan jalannya fungsi pemerintahan.
Civilization adalah  kerangka makro-normatif, memberikan horison makna atas tindakan manusia.

Ketegangan muncul ketika civil servant  menjalankan fungsi administratif tanpa horison civilization. Dalam konteks ini, birokrasi menjadi formalistik, bahkan represif. Sebaliknya, ketika civil servant bekerja dengan kesadaran peradaban, maka birokrasi berfungsi sebagai instrumen adab: aturan dijalankan demi keadilan, bukan sekadar kepatuhan.

4. Implikasi dalam Konteks Indonesia

Di Indonesia, penyebutan ASN sebagai aparatur mengandung implikasi serius: publik lebih melihat mereka sebagai  alat negara  ketimbang pelayan masyarakat. Hal ini memunculkan jarak antara birokrasi dan masyarakat, yang kadang melahirkan praktik birokrasi yang kaku dan kurang humanis. Mengembalikan istilah civil servant pada makna “pelayan masyarakat” bisa menjadi langkah etis untuk membangun birokrasi yang lebih berorientasi pada peradaban.

Dengan demikian civil servant bukan sekadar penggerak mesin negara, melainkan aktor sosial yang menyalurkan nilai-nilai civilization (keadilan, kepedulian, adab) ke dalam ruang pelayanan publik.


Civil servant dan civilization tidak bisa dipisahkan: yang pertama adalah wajah mikro, yang kedua adalah horison makro. Civil servant yang hanya dilihat sebagai aparatur akan kehilangan roh etikanya, sedangkan civilization yang tidak ditopang oleh birokrasi yang melayani akan berhenti pada idealisme belaka.

Penerjemahan civil servant sebagai pelayan masyarakat lebih tepat ketimbang aparatur negara, karena menekankan aspek moral dan adab. Dengan cara ini, fungsi birokrasi dapat selaras dengan horison peradaban: mengelola kekuasaan demi kesejahteraan, bukan semata-mata prosedur.


Catatan Kaki

1. Max Weber, Economy and Society, (University of California Press, 1978), hlm. 956–1005.
2. Philip Selznick, Leadership in Administration, (Harper & Row, 1957), hlm. 45–47.
3. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hlm. 1–20.


 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler